Top Ad unit 728 × 90

Popular Posts

Santri Beneran, Bukan Santri Bo’ongan


Aku bocah yang mencoba memasuki dunia-dunia jalur terjal seperti kawan-kawanku kebanyakan. Begitu kesimpulan yang tiba-tiba berputar dibenakku. Bagaimana tidak, sejauh aku membaur dengan kawan-kawanku tersebut ternyata masih cukup sulit untuk mengikuti dan merasakan jalan terjal tersebut. Bukan berarti aku tidak bersyukur, namun aku hanya mencoba mencari benang merah kenapa aku masih diselamatkan dan tidak boleh terlalu lama berada di jalan terjal. Sekali lagi, aku bersyukur atas hidupku ini. Apabila ada ungkapan di atas syukur, maka aku akan menulisnya dengan catatan aku benar-benar menjadi seorang santri beneran.

Semenjak kecil ternyata aku berputar pada pusaran lingkungan bersarung. Aku hidup diantara 8 pesantren, Taman Pendidikan al-Qur’an sekitar 5, serta lembaga pendidikan formal basis peci bintang sembilan, serta massifnya praktik-praktik tradisi keagamaan. Secara tidak terstruktur membentuk karakter pribadiku ketika masih menyukai permainanbenteng-bentengan,[1] meskipun hanya soal fashion. Sambil mengingat betapa lucunya sarung yang dipakai gembolannya besar, tangan baju taqwahnya kotor sering jatuh ketika bermain bentengan, dan peci hilang sebab terjatuh di tengah-tengah pengejaran maupun dikejar saat permainan benteng-bentengan. Lebih lanjut, pulang dengan hati gembira setelah usai bermain tidak membuat aku jera ketika dimarahi ibuku. “Masya Allah Don……,bajumu kotor lagi. Paling-paling pecimu hilang lagi? Iya? Gumam ibuku. Aku pun menjawab dengan senyum-senyum meresahkan, “enggeh buk.” “besok ikut ibuk mencuci” tegas ibu. “Siap buk” tegas aku, meskipun nyatanya hanya polesan bibir. Terima kasih sudah mengajak dan memaafkan akan lupa dan salahku bu.
***
Sambil menatap hampa, mengalirlah lamunan ini. Bangunan pesantren di rumahku tidak jauh berbeda dengan model-model rumah-rumah masyarakat kebanyakan, hanya yang membedakan soal luas bangunannya. Akhir-akhir dasawarsa ini, tidak banyak bangunan pesantren yang seperti dulu. Sekarang bangunan pesantren menggambil desain-desain timur tengah dan mewah. Alasan pertama yang memilukan bahwa desain timur tengah itu sunnah dan mencerminkan syiar Islam. Sedangkan desain-desain nenek moyang kita dianggap bid’ah dan tidak mencerminkan Islam. Benarkah begitu? Bukankah itu hanya simbol-simbol agama dan terkesan timur tengahisasi?

Kemudian alasan kedua yang meyedihkan bahwa pendanaan pembangunan dan pengembangan pesantren didanai oleh masyarakat muslim luar negeri, terutama dari timur tengah. Kucuran dana itu membuat pihak pesantren menuruti desain-desain timur tengah sebagai satu-satunya kesunnahan. Bukankah pesantren dulu mandiri? Bukankah pesantren dulu dengan dengan masyarakat muslim sekitar?

Selanjutnya alasan ketiga yang tidak ada hubungannya dengan persolan diatas namun meresahkan adalah soal pesantren dan politik. Saat para politisi mendengarkan fatwah kyai itu bagus. Berbeda ketika hanya memnfaatkan jamaahnya. Kejadian kedua itu yang sering terjadi. “seng untung kyai ne” begitu kata satu masyarakat ketika ditanya soal kyainya memilih calon politisi tertentu. Terjadi pergeseran kemesraan antara pesantren dengan masyarakat. Bukankah pesantren berkembang bersama masyarakat? “mas, ayo antarkan aku balik ke pondok” suara adik kecilku memutus komtemplasiku soal pesantren. “okey dek” jawabku dengan terkaget.
***
Lamunan itu meresahkanku beberapa hari-hari ini. Ditambah stigma soal pesantren menjadi lahan basah persemian teroris. Akhirnya aku memutuskan untuk pulang dan mengunjungi teman-temanku yang sudah bergelar ustad, sekedar untuk bersilaturrahim dan berdialektika soal lamunan yang membuatku galau tingkat dewa. Setiba di pesantren tempatku menjadi santri kalong,[2] suasananya masih seperti yang dulu. Bangunan khas pesantren ala Indonesia.

“Assalamu’alaikum” ucapku. “Waalaikumussalam” jawab satu santri. Lanjutku bertanya, “Kulo Doni cak. Ingin bertemu dengan cak rian.” “sebentar mas, saya panggilkan dulu. Silahkan duduk” ucap ramah santri tersebut. Saat aku menunggu dan melihat ke arah rungan pesantren, ternyata foto presiden sudah diganti dengan presiden yang baru. Masih ingat aula dikampusku presidennya masih yang lama, maklum presiden baru yang dilantik beberapa bulan lalu. Dalam benakku, agaknya pesantren lebih update soal nasionalisme. Hehehe.

“Selamat sore, ya akhi,” muncul santri bersarung dan berjenggot pula. “Sore,” jawabku terkaget. “aku rian bro,” diucapkan sambil bersalaman dan langsung memelukku. “Oooooo,” masih terkaget dan mulai tersenyum dalam pelukan temanku. Akhirnya kami berbincang melepas kangen. Selanjutnya kami langsung menuju warung mbok Da (tempat nongkrong kami setelah ngaji diniyah).
Bro, kamu berjenggot kok salamnya tadi berbahasa Indonesia?” nada ironiku. “Wah, akibat munculnya muslim berjenggot ala timur tengah sebagai simbol syiar Islam menjadikanku terkena stigma Islam Radikal. Hehehehe,” candanya sambil menghisap rokoknya. “Berjenggot itukan sunnah, tetapi kalau tidak pantas ya tidak perlu berjenggot. Khusus aku, ganteng kan?” lanjut dia. “Ganteng bro, karena ente keturunan arab,” jawabku tegas.

“Rian, benarkah tradisi timur tengah seperti baju jubah dan gamis, desain bagunannya, dan tradisi-tradisi yang lainnya adalah tradisi Islam? Kata ku selanjutnya. Sambil menyalakan rokoknya kembali, dia menjawab serius. “Itu tidaklah benar. Islam itu tidak serta merta membawa tradisi berdasarkan ajarannya, tetapi juga meneruskan tradisi-tradisi yang baik dimana Islam itu diajarkan. Itu artinya, Islam menghargai dan mengapresiasi peradaban masing-masing daerah. Kalau ada dakwah yang mengharuskan berbudaya timur tengah, itu adalah dakwahnya orang-orang Islam fundamental”. “Mereka beralasan bahwa meniru secara kaffah Rasululah itu adalah menjalankan Islam secara kaffah” sahut aku. “Sebentar, termasuk memakai gamis dan jubah? Tanggap dia. “Iya,” jawabku. “Bukankah Abu Jahal juga bergamis, berjubah, dan berjenggot?” lanjutnya. “Ia juga sih” kataku sambil terpaku memikirkannya. “Nah, malah memakai baju safari milikku ini yang menurutku sunnah,” ucap dia sekaligus membuat penasaran.

Aku pun menanggapi “kenapa bisa?”. “Rasulullah memakai gamis dan jubah karena menghormati budaya fashion orang-orang arab dan desain bajunya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tetap sopan, berwibawa, dan menutup aurat. Kenapa memakai baju safari khas Indonesia adalah sunnah? Karena kita orang Indonesia yang kebetulan masuk Islam sehingga harus menghormati dan menghargai budaya-budaya Indonesa yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Tentu baju safari tidak ada dalam budaya Islam Arab, karena kita Islam Indonesia,” tanggapan rian yang menenangkan hatiku.

Setelah perjumpaanku dengan sahabatku yang menjadi santri beneran, aku pun menyimpulkan bahwa meniru itu tidak harus tekstual tetapi juga boleh meniru nilai-nilai dan pesan yang terkadung didalamnya. Lagi-lagi, aku berhutang kepada pesantren dan ajaran dakwahnya yang yang inklusif tersebut. Untuk pesantren dengan dakwah intolerannya, segeralah bertaubat atau mengganti nama pesantrennya. Karena pesantren beserta santri-santrinya ada untuk membangun dan mengisi kemerdekaan Indonesia menuju peradaban yang rahmatan lil ‘alamin.

[1]Model permainan tradisional dengan konsep kegiatan sekumpulan orang mempertahankan rumahnya (pohon atau tiang) sekaligus saling mendahului memasuki rumah lawan yang bersangkutan tanpa tertangkap tentunya. Siapapun yang lebih dahulu dialah pemenangnya.
[2]Santri yang tidak menetap, biasanya hanya ikut mengaji umum maupun mengaji madrasah diniyah.

Makhfud Syawaludin
Santri Beneran, Bukan Santri Bo’ongan Reviewed by Makhfud (Cak Pod) on 17.49 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by My Opinion About © 2014 - 2015
Designed by JOJOThemes

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.