Islam Nusantara; Tipologi Islam yang Membumi (Pribumisasi Islam) di Indonesia
Teriakan jihad atas nama Tuhan di
Indonesia sudah menjadi menakutkan dan terkesan bersifat intoleran. Adanya
Islam, tidak lagi menjadi sebuah perubahan ke arah perdamaian, malah semakin
menuju kefanatikan dan kesengsaraan. Bila dibiarkan, Islam akan tidak lagi
diminati sebagai sebuah kesadaran, melainkan sebuah pilihan keterpaksaan, atau
bahkan hanya sebagai sebuah kendaraan berkuasa. Saat terjadi fenomena tersebut,
semoga akan mengajak berpikir masyarakat untuk kritis, mana Islam yang membumi
dan tidak. Islam harus dibumikan, agar mampu menentramkan mereka yang ada
dibumi, sebab Islam diturunkan sebagai pedoman hidup di Bumi bukan dilangit.
Dalam keempatan ini, Islam yang
membumi itu adalah Islam di Nusantara yang pernah mengangkat martabat manusia
menjadi lebih baik dan beradab, memberi kekayaan dan warisan kebudayaan
terhadap kerajaan-kerajaan silam yang bisa kita nikmati sampai sekarang, pernah
juga ikut merumuskan kesepakatan persatuan untuk mewujudkan keadilan sosial
(Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945), membela mati-matian
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Revolusi Jihad), serta menjaga
semangat berislam secara toleran, mengingat Nusantara sangat beragam suku,
bangsa, dan budaya, serta merupakan negara kepulauan yang mempunyai kondisi
alam berbeda-beda. Semangat inilah yang harus terus diteruskan dalam bingkai
jihad Islam, bukan sekedar menyuarakan penegakan syariat Islam dan memperbanyak
umat.
Pada sisi yang lain, semangat
beragama begitu bersemi dicelah-celah kebisingan dan kekosongan jiwa masyarakat
modern. Kondisi tersebut akan berdampak negatif, apabila pemahaman beragamanya
masih bersifat simbolis dan eksklusif. Sering kita jumpai, tiba-tiba seseorang
menjadi berperilaku dan berpenampilan bersimbol Islam, namun belum sepenuhnya
memahami sepenuhnya semangat Islam dalam berperilaku dan berpenampilan.
Selanjutnya, banyak seseorang/kelompok yang sering mengklaim dirinya yang
paling benar dalam mengamalkan Islam karena sesuai hukum Islam (Al-Qur’an dan
Hadits faqod), dengan berbekal itu
kemudian melupakan bagaimana menghormati yang lain dan sempit dalam memahami
teks sumber hukum dalam situasi dan kondisi kehidupan dilingkungan yang jauh
berbeda dari teks-teks sumber hukum tersebut.
Islam memiliki ajaran yang bersifat
normatif dan historis atau dengan sebutan ajaran yang bersifat ritual dan
sosial. Dalam konteks ajaran/ibadah ritual akan selalu sama (ada juga yang
sedikit berbeda) antara Islam di Nusantara dan Islam di tempat yang lain.
Seperti ibadah sholat, puasa, zakat, dan lain sebagainya. Berbeda dengan
ajaran/ibadah sosialnya, bisa jadi akan berbeda-beda pengamalannya tergantung
dimana Islam itu berkembang, akan tetapi semangat ajaran/ibadah sosial akan
selalu sama. Seperti menutup aurat saja, di Indonesia tidak perlu dipaksa
bercadar, begitu juga di Arab tidak perlu dipaksa berjilbab ala Indonesia. Di Indonesia tidak harus
berjubah, cukup memakai baju adat Indonesia seperti batik, baju safari, atau
taqwa, bukankah sama-sama sopan dan rapi? Apakah mendapat sunnah Nabi bila pakai
batik atau safari? Hemat penulis, tentu saja mendapatkan kesunnahan tersebut,
sebab sama-sama menutup aurat, sopan dan rapi, serta memakai baju
kebesaran/baju adat di daeah Islam tersebut berkembang. Kemungkinan itu lah
semangat menutup aurat yang tentu teks aslinya berdasarkan kemunculan Islam di
Arab Saudi pada waktu itu.
Ungkapan anti Islam Timur Tengah
tidaklah pantas disematkan bagi umat Islam yang berada diluar Timur Tengah
dengan karakter yang berbeda dari segi budaya, suku, dan bangsa. Tidak heran
kemudian, saat wacana Islam Nusantara diteguhkan kembali terjadi perdebatan
yang tidak perlu dikarenakan kefahaman yang sempit tentang Islam dan adanya
kefanatikan terhadap budaya Timur Tengah sebagai tempat kelahiran dan
berkembang Islam pertama. Pertanyaannya adalah, apakah Islam sejak diturunkan
sudah membawa semua budayanya sendiri? Menurut saya tidak. Misalnya budaya
berjubah, semua orang Arab pada waktu itu berjubah, baik muslim atau non
muslim. Ini menunjukkan, Islam tidak serta merta menolak budaya secara membabi
buta, melainkan bersifat membina dan menyempurkan. Apabila yang ada sudah baik,
tinggal diteruskan. Apabila ada yang kurang baik atau bahkan tidak baik,
tinggal diupayakan untuk diarahkan kepada kebaikan serta membuka diri terhadap
budaya-budaya baru yang baik.
Menyadari
kondisi tersebut, menjadi sebuah kewajaran sebenarnya Ajaran Islam dapat
berdialog dengan budaya dimana Islam berkembang. Tetap Islam, dengan budaya
nusantaranya, tetap Islam, dengan budaya timur tenggah, dan tetap Islam dengan
budaya apapun, kapanpun dan dimanapun. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa
Islam diturunkan untuk seluruh alam dan akan terus sesuai dengan zaman apapun.
Islam Nusantara bukan madzhab baru, melainkan sebuah tipologi dari Islam ASWAJA
(KH. Said Aqil Siradj). Islam Nusantara tidak dapat dibendung lagi dan harus
diteguhkan sebagai bukti bahwa Islam dapat dan memang seharusnya membumi
sehingga meniupkan keadilan, kesejahteraan, dan perdamaian.
Islam Nusantara; Tipologi Islam yang Membumi (Pribumisasi Islam) di Indonesia
Reviewed by Makhfud (Cak Pod)
on
00.54
Rating:
Tidak ada komentar: