Top Ad unit 728 × 90

Popular Posts

Menyoal Keterbukaan Informasi Publik


Anda tahu apa itu “kepo”? Ya, “kepo” adalah kepanjangan dari knowing everything particular object. Sebuah istilah gaul untuk menyebut mereka yang memiliki rasa ingin tahu berlebih terhadap urusan orang lain. Dalam pergaulan antar teman, “kepo” mungkin diangap sebagai penyakit yang mengganggu. Namun tidak begitu dalam kehidupan publik. Mengapa? Karena dalam urusan publik, setiap warga “berhak untuk tahu” setiap informasi dan kebijakan yang berkaitan dengan dirinya. Bahkan, hak tersebut diabadikan secara internasional setiap 28 September dengan apa yang dinamakan sebagai Right to Know Day (Hari Hak untuk Tahu).
Di alam demokrasi saat ini, ketersediaan dan kemudahan akses informasi menjadi salah satu hak mendasar yang harus dilindungi. Di Indonesia, hak tersebut dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang dijalankan melalui Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2010. Dalam regulasi tersebut setidaknya dibahas tiga hal pokok, yakni tentang informasi publik, badan publik dan sengketa informasi.
Apa itu informasi publik? Dalam undang-undang di atas disebutkan bahwa informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara atau badan publik lainnya serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam UU tersebut juga lugas ditegaskan bahwa setiap permohonan informasi publik harus dapat dilayani dengan cepat. tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.
Meski sudah dijamin melalui konstitusi, akses informasi publik masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Mengapa demikian? Dalam hemat penulis, setidaknya kondisi ini disebabkan oleh tiga penyebab.
Pertama, menyangkut kapasitas teknis lembaga publik. Banyak terjadi dimana persoalan dokumen publik tidak dikelola dengan baik oleh pejabat publik. Setiap ada permintaan atas suatu dokumen, misalnya di sebuah dinas, kerap kali muncul kebingungan petugas untuk memenuhi permintaan tersebut. Hal ini dikarenakan belum adanya tradisi birokrasi yang baik dalam pengelolaan dan penyediaan dokumen publik. Keberadaan sistem informasi pun jika problemnya adalah kapasitas teknis seperti ini maka tidak akan banyak membantu. Maka jangan heran jika banyak sekali dinas-dinas di pemerintahan daerah yang punya banyak website, namun tak satupun yang berfungsi sebagai penyedia informasi publik.
Kedua problem struktural. Problem ini berkaitan dengan kebijakan dan regulasi yang kurang mendukung bagi keterbukaan informasi. Tidak sedikit pejabat publik yang kurang memahami soal apa itu informasi  yang sudah dijabarkan dalam pasal 17 dan 18 UU no 14 tahun 2008. Sering muncul perbedaan apakah sebuah dokumen boleh diakses apa tidak antara pejabat publik dengan pemohon informasi. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya prosedur dan SOP yang baku dan tersosialisasikan dengan baik kepada publik. Sehingga, setiap kali ada permintaan informasi, pemohon selalu dipersulit dan dilempar dari instansi satu ke instansi yang lain. Potret seperti ini nampaknya juga terjadi di Kabupaten Pasuruan. Terbentuknya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang diketuai oleh Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Paruaun sejak tahun 2013, seharusnya semakin mempermudah pelayanan terhadap informasi dan dokumen publik. Faktanya, yang terjadi adalah sebaliknya.
Memang dalam UU KIP ada pengecualian terhadap Informasi publik yang bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat. Sebuah pemintaan dokumen kerap kali ditolak dengan alasan ini. Bahwa penolakan badan publik untuk memberikan informasi dengan menggunakan alasan pasal 17 tentang informasi yang dikecualikan.
Ini bisa terjadi karena tidak ada keseriusan pejabat publik untuk merumuskan secara teliti berdasarkan UU tentang dokumen yang dikecualikan sekaligus mengumumkan secara detail informasi publik dan informasi yang dikecualikan. Sehingga, sering kali masyarakat kecewa ketika meminta informasi publik ternyata yang diminta dianggap sebagai informasi yang dirahasiakan. Pada titik inilah, jika pemohon tidak terima, pemohon bisa mengajukan sengketa informasi melalui Komisi Informasi Publik sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut.
Mekanisme dalam penanganan sengketa informasi telah diatur dalam pasal 35 s/d 50. Namun mekanisme ini jika dituruti tentu saja menjadikan akses informasi menjadi terhambat dan bertele-tele. Kondisi ini diperparah ketika pemahaman sebagian pengelola lembaga publik masih menganggap dokumen publik seperti APBD, RKPD, RKA, LKPJ dan sebagainya sebagai dokumen negara yang harus dirahasiakan.
Taruhlah sebuah institusi publik memiliki “definisi sendiri” apa saja yang boleh diketahui oleh publik, tentu sudah seharusnya definisi itu dikeluarkan dalam regulasi yang baku. Sehingga publik pun bisa mengerti dan “tau diri”. Masyarakat tentunya akan mendapatkan pemahaman ketika apa yang menjadi regulasi soal mana informasi yang halal dan informasi yang haram tersebut, clear! Jika memang demikian, tentunya masyarakat tidak perlu kecele saat mengakses dokumen publik. Dan mereka tidak perlu capek-capek mengajukan sengketa informasi terhadap sesuatu yang dikira menjadi hak mereka, padahal bukan. 
Ketiga adalah soal political will dan kepercayaan (trust). Penulis melihat beberapa persoalan akses informasi publik sangat bergantung kepada “siapa” yang mengakses informasi tersebut. Apakah pemohon informasi tersebut adalah pihak yang dipercaya atau tidak. Mungkin ada kekhawatiran bahwa jika “orang yang salah” dilayani untuk mengakses informasi, maka informasi tersebut akan disalahgunakan. Karena itulah di beberapa lembaga publik, sebuah permohonan akan informasi publik tak selalu dilayani. Atau bisa jadi dilayani namun dokumen yang diminta tidak diberikan secara utuh. Pertanyaannya adalah, mengapa pejabat publik harus khawatir jika sebuah dokumen atau informasi publik akan disalahgunakan?
Sudah menjadi keharusan bagi lembaga publik, terlebih yang menggunakan “dana publik” seperti APBN dan APBD, untuk selalu diawasi dan bertanggungjawab kepada publik. Dan membuka akses informasi hanyalah bagian kecil dari rasa tanggungjawab tersebut. Jika demikian, tidak ada alasan sedikitpun bagi pejabat publik untuk merasa takut kepada pihak-pihak yang dikhawatirkan akan menyalahgunakannya. Jika informasi yang diberikan adalah valid, dan pejabat publik sudah bekerja sesuai dengan tanggungjwabnya, tidak ada kesempatan sedikitpun bagi upaya penyalahgunaan dokumen tersebut.
copy-copy-cropped-header-kip1
Penulis mendambakan pejabat publik di Kabupaten Pasuruan bisa mengikuti Ahok, khususnya dalam konteks informasi publik. Melalui kepemimpinannya, wakil Gubernur DKI Jakarta itu berani membuka akses dokumen publik seperti APBD secara online hingga lampiran ketiga. Tak hanya itu, Ahok juga merilis pendapatan dan kekayaannya melalui blog pribadinya secara berkala berikut laporan pajak yang dia bayar. Ini bisa menjadi contoh bagaimana pejabat publik itu harus selalu siap membuka dirinya dan dan membuka akses informasi publik seluas-luasnya kepada masyarakat.
Akses informasi publik merupakan pintu masuk bagi sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat. Di samping itu, dengan akses informasi yang memadai, publik diharapkan mampu meningkatkan perannya dan berkontribusi dalam pembangunan dan kebijakan publik. Bukankah, demokrasi meniscayakan  partisipasi yang kuat dari masyarakat? Bagaimana masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam pembangunan jika untuk mengunduh dokumen pembangunan susahnya minta ampun? Bukankah misalnya, ketika publik tahu data kemiskinani dan “cara” pemerintah selama ini menanganinya, publik akan turut memikirkan, mengevaluasi, memberikan masukan, bahkan turut andil dalam upaya pengentasan kemiskinan itu? Bukankah dengan mengetahui bagaimana struktur APBD di sebuah daerah, publik akan terdorong untuk turut mengawal agar uang rakyat itu dipergunakan sesuai dengan peruntukannya? Salahkah jika publik ikut membaca LAKIP, LPPD dan semacamnya sekedar untuk tahu bagaimana selama ini pemimpin mereka bekerja? Lantas, menapa akses terhadap dokumen publik masih saja dipersulit?  Makhfud Syawaludin*/ Penulis adalah Peserta Sekolah Demokrasi 2014

Menyoal Keterbukaan Informasi Publik Reviewed by Makhfud (Cak Pod) on 00.57 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by My Opinion About © 2014 - 2015
Designed by JOJOThemes

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.