Top Ad unit 728 × 90

Popular Posts

Mewujudkan Kerukunan Beragama, Perlu Belajar “Pluralisme” (Perspektif Islam)


Makhfud Syawaludin1

Ada Pluralitas Agama, Perlu Masyarakat Agama Yang Pluralis,
Otomatis Perlu Belajar Pluralisme, Dengan Begitu Akan Meningkatkan Dan Mewujudkan Kerukunan
Dalam Kehidupan Berbangsa Bernegara.
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk...” (QS al-Ma’idah ayat 105).

A. Akar Pluralisme
      Sepintas tentang akar pluralisme. Akar pluralisme hingga sekarang masih menyisakan perdebatan. Terdapat tiga perspektif terkait akar dari pluralisme. Yang pertama, pluralisme secara indigenous lahir dari kaum filosof, Yunani. Hal ini mengacu pada perkataan socrates, bahwa dia tidak berasal dari kedua negeri (Athena dan Sparta), tetapi berasal dari penduduk dunia. Yang kedua, istilah pluralisme terlahirkan dari negeri Arab, kendati tidak menggunakan istilah “pluralisme” tetapi menggunakan konsep “tetangga”. Mengacu pada peradaban madinah dengan piagam madinahnya. Sehingga hidup berdampingan, berbeda warna kulit, agama, ideologi atau kebangsaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak terelakkan. Dan yang ketiga, versi barat, dalam literatur pluralisme muncul sebagai gugatan terhadap perang klaim kebenaran.
      Ketiga pernyataan di atas, mempunyai benang merah, bahwa pluralisme timbul ketika di suatu wilayah terdapat kaum minoritas yang mengalami kesulitan dan pluralisme tidak dapat terealisasikan ketika ada kepentingan-kepentingan. Dan demokrasi menjadi satu media bagi pluralisme, dengan demokrasi semua entitas dan individu akan terlindungi dan tidak ada truth claim.2
     
B. Konsep Pluralisme
      Secara sederhana ideologi ini mengatakan bahwa realitas di dunia ini adalah majemuk. Menurut Richard J. Mouw dan Sander Griffon dalam Syamsul Ma’arif, Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (Inggris) yang mempunyai arti jamak, dalam arti ada keanekaragaman di masyarakat, dan ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus diakui.3 Secara istilah pluralisme menurut Azhari Noer dalam Ma’arif, adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan pluralitas dan bersifat jamak.4 Plural dari segi suku, warna kulit, dan budaya bahkan agama. Secara garis besar, pengertian konsep pluralisme, menurut Alwi Shihab dalam Ma’arif dapat disimpulkan sebagai berikut:
     
pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di mana-mana. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme merujuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adalah kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Buddha, bahkan orang-orang tanpa agama. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat sedikit, kalaupun ada. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berfikir seorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari faham ini agama apa pun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya, “semua agama adalah sama”. Dan keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.5

      Dapat disimpulkan bahwa konsep pluralisme adalah suatu sikap yang saling mengerti, memahami dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan agar tercipta kerukunan lintas agama.
     
C. Islam dan Pluralisme
      Pluralisme adalah mengakui bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, terdapat bukan hanya agama kita sendiri, tetapi ada pemeluk agama lainnya.  Kita harus mengakui bahwa setiap agama mempunyai hak yang sama untuk eksis. Oleh karena itu, yang harus dibangun adalah perasaan dan sikap saling menghormati, yaitu toleransi dalam arti aktif.6
      Dalam kehidupan yang majemuk seperti di Indonesia. Agama tidak lagi dianggap sebagai musuh melainkan sebagai tetangga. Kalau dulu ada pemikiran kerukunan “antara umat” beragama, kini harus ditegaskan adanya kerukunan agama-agama, tetapi tidak campur aduk. Berikut ini adalah sikap tersebut menurut Azizy:7
1. Memungkinkan adanya saling mengadopsi pemaknaan ajaran, selama tidak merusak keimanan.
2. Memberikan dukungan dan legitimasi terhadap nilai-nilai universal seperti Hak Asasi Manusia (HAM), keadilan, peradaban, keamanan dan lain sebagainya (agama harus mampu mengaktualisasikan ajaranya menjadi landasan moralitas dalam kehidupan.
3. Saling membantu memperbaiki tempat Ibadah bukan saling merusaknya.
4. Menjadikan agama sebagai alat untuk mewujudkan kemaslahatan, kedamaian dan ketentraman (semua manusia) dengan mempererat persatuan dan kesatuan serta mencegah diintegrasi bangsa.
5. Adanya alert, jaringan tokoh lintas agama sehingga setiap muncul masalah atau kasus (terutama masalah lintas agama) segera ada langkah untuk meyelesaikan bersama, sebelum meledak (meluas).
      Begitu juga dengan agama Islam sangat menganjurkan sekali hubungan antar umat beragama terjalin dengan baik demi menjaga dan membangun kerukunan dan kebaikan bersama serta demi kemaslahatan umum.8
      Lebih dari itu, pluralitas mendapatkan tempat seluas-luasnya dalam Islam9. Seperti toleransi antar umat beragama, Islam menghormati dan melindungi sesama (non muslim), Islam juga melindungi tempat-tempat ibadah lain, dan Islam melarang mencaci agama lain serta perintah untuk saling mengenal dan perintah hidup rukun dan saling mengasihi antar sesama,10 bahkan dialog antar iman.11
      Misalnya pada Surat Al-An’aam ayat 108 dan Al-Hujuraat ayat 13. Yang mempunyai arti:
     
      Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (al-An’aam ayat 108)12
      Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujuraat ayat 13)13
      Dalam Islam terdapat beberapa prinsip yang dapat dijadikan sebagai rujukan terhadap pluralisme. Yang pertama, Islam adalah agama yang bersifat universal. Islam tidak hanya diperuntukkan bagi salah satu suku, bangsa, etnis tertentu atau sebutan lain yang menunjukkan keberagaman, melainkan sebagai Rahmatan lil ‘alamin (QS. al-Anbiyaa’, 21: 107), Islam juga menghargai agama-agama dan kepercayaan agama lain (QS. al-Maa-idah, 5: 48), Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksaan dalam beragama (QS. al-Baqarah, 2: 256), Islam juga merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya (QS. al-Baqarah, 2: 23), Islam juga menegaskan bahwa keaneka-ragaman dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin, suku, dan bangsa yang beranekaragam. Perbedaaan itu agar terjadi saling mengenal (QS. al-Hujurat, 49: 13), dan Islam memiliki sejarah yang cukup jelas terkait dengan kehidupan yang majemuk sebagaimana yang ditunjukkan Rasulullah sendiri ketika membangun masyarakat madani di Madinah. Sebagai sebuah Negara, Madinah sudah mengakui, menghargai, dan mengakomodasi berbagai etnik dan berbagai golongan. Semua warga Negara menikmati hak hidup dan dilindungi oleh undang-undang, sebagaimana diatur dalam Piagam Madinah14 (Madinah Charter).15
      Nilai-nilai Pluralisme, dapat kita ambil dalam karakteristik pendidikan multikultural yang berusaha mengembangkan sikap mengakui, menerima, dan menghargai. Seperti sikap toleransi, empati, simpati, dan solidaritas sosial. Dan dalam perspektif Islam dikenal dengan al-ta’addudiyat (Pluralisme), al-tanawwu’ (keragaman), al-tasamuh (Toleransi), al-rahmah (Kasih sayang), al-afw (memberi maaf), dan al-ihsan. Secara otomatis, Islam dan pendidikan Multikultural menolak sikap rasial (mementingkan suku atau ras nya sendiri), stereotip, dan prejudis16.
      Menurut Donna M. Gollnick dalam Aly, dalam kehidupan sosial di masyarakat plural/mejemuk diperlukan sikap menerima, mengakui, dan menghargai keberagaman. Menurut Beliau, ketiga sikap tersebut laksana mosaik dalam suatu masyarakat. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil (microculture) yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar (macroculture). Sementara menurut Lawrence A. Blum dalam Aly, ketiga sikap tersebut di perlukan dalam membangun hubungan sosial yang harmonis di dalam masyarakat majemuk.17
      Toleransi.18 Menurut Rainer Fost dalam Zuhairi Misrawi, ada dua cara pandang tentang toleransi, yaitu: 1). Konsepsi toleransi yang dilandasi pada otoritas negara (permission conception), dan 2). Konsepsi toleransi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membagun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception). Dan konsep ini, toleransi harus mampu membangun sikap saling pengertian dan saling menghargai di tengah keragaman suku, agama, ras, dan bahasa.19 Toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, apresiasi terhadap keragaman budaya dan ekspresi kita. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan, yang membuat perdamaian menjadi mungkin. Toleransi mempunyai batas, yakni toleransi tidak bisa mentoleransi tindakan-tindakan intoleran.20

1Ketua Komisariat PMII Ngalah UYP periode 2012-2013 dan Ketua III PC PMII Pasuruan periode 2013-2014.
2Liza Wahyuninto dan Abd. Halim Fathani, Memburu Akar Pluralisme Agama, Mencari Isyarat-Isyarat Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an, Sejarah, dan Pelbagai Perspektif (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 11-14.
3Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia (Jogjakarta: Logung Putaka, 2005), 11-12.
4Ma’arif, Pendidikan Pluralisme, 12.
5Ma’arif, Pendidikan Pluralisme, 14-15.
6Budhy Munawar-Rahman, Argumen Islam untuk Pluralisme (Jakarta: PT Grasindo, 2010), 65.  Pengertian pluralisme: 1). Pluralisme adalah kesetiaan menerima pluralitas, 2). Pluralisme mendorong kebebasan, termasuk kebebasan beragama, dan merupakan pilar demokrasi, 3). Pluralisme berarti membangun toleransi, 4). Pluralisme bukan sinkritisme, juga bukan relativisme, 5). Pluralisme mempunyai tempat yang sah dan berakar dalam agama Islam, 6). Pluralisme mengakui adanya keselamatan dalam agam-agama, dan 7). Pluralisme juga mendorong dialog antaragama dan antariman. Lihat Rahman, Argumen Islam, 84-89.
7A. Qodri A. Azizy, Pendidikan [Agama] Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Sukses Masa Depan: Pandai Dan Bermanfaat) (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), 121-122.
8Seperti yang dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Munir juz 1 hal 93 Dan diterangkan pula dalam kitab al-Bab Fii Ulumi al-Kitab, bab surat Ali Imran juz 5 hal 143. Yang mempunyai arti, ........Menjalin hubungan baik dengan non muslim di dunia dengan sebatas dhohir itu tidak ada larangan.......... Kholid Murtadlo, Buku Pedoman Santri Darut Taqwa (Dalam Berbangsa dan Bernegara) (Pasuruan: Yudharta Advertising_Desigh, t.t), 16.
9Di dalam al-Qur’an terdapat prinsip-prinsip adanya realitas tentang pluralitas agama (Q. 2:26), kebebasan beragama(Q. 2:256), hidup berdampingan secara damai (Q. 109:1-6), menganjurkan berlomba dalam kebajikan (Q. 5:48), dan bersikap positif dalam berhubungan serta bekerja sama dengan umat lain yang tidak seagama (Q. 60:8). Al-Qur’an juga secara tegas mengharuskan umat Islam untuk bertindak adil terhadap umat non-muslim (Q. 60:80) dan untuk melindungi tempat-tempat ibadah semua agama (Q. 22:40). Rahman, Argumen Islam, 20.
10Kholid Murtadlo, Buku Pedoman Santri, 15-60.
11Dalam dialog tersebut tidak hanya menyangkut masalah sosial kemanusiaan, tetapi juga persoalan teologis dan eskatologis (permasalahan akhirat).  Dan terkadang dari dialog tersebut, sejumlah orang non muslim kemudian menyatakan keimanannya. Dialog tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Imam Thabrani yang mempunyai arti sebagai berikut: “Dari Zaid bin Arqam diriwayatkan bahwa seorang Yahudi datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: ‘Wahai Abu Qasim, engkau menduga bahwa penghuni surga itu makan dan minum di surga.’ Beliau menjawab: ‘Benar, demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seorang laki-laki di dalamnya diberikan kekuatan seratus kali lipat untuk makan, minum, dan berhubungan seksual. ‘ Yahudi mempertanyakan: ‘Mestinya kan orang yang makan dan minum itu butuh buang hajat, padahal surga itu suci.’ Beliau menjawab: ‘Hajat mereka terbuang melalui keringat yang menetes dari tubuh mereka yang baunya harum laksana minyak kesturi, sehingga perut mereka pun menjadi kosong.” (HR. Ath-Thabrani). Alaik S, Cara Bergaul Rasul Dengan non Muslim (Yogyakarta: LkiS Group – Pustaka Pesantren, 2012), 49-50.
12Dept. Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahnya, 205.
13Dept. Agama R.I, al-Qur’an dan Terjemahnya, 847.
14Teks Piagam Madinah (bahasa Indonesia), bisa kita lihat dalam Ma’arif, Pendidikan Pluralisme, 52-60.
15Bustomi, “Universitas Yudharta Pasuruan”, dalam Serumpun Bambu; Jalan Menuju Kerukunan Sejati Edisi Revisi, Ed. M. Kholid Murtadlo dan Ubaidillah Nafi’ (Pasuruan: Yudharta Advertising_Desigh, t.t), xiii.
16Kata prejudis secara etimologis berasal dari penggabungan dua kata yang berasal dari bahasa latin yaitu dari kata prae yang berarti “sebelum” dengan kata judicium yang berarti “penilaian akhir”. Jadi, kata prejudis dapat diartikan menjadi “sebuah penilaian akhir tanpa yang tidak dilandasi dengan bukti-bukti terlebih dahulu.” Sedangkan secara sosiologis, prejudis adalah opini, sikap, kepercayaan dan perasaan yang negatif dan tidak fair terhadap seseorang atau kelompok masyarakat lain (etnis, kewarganegaraan, agama, ras, jenis kelamin, kelas sosial, dan lain-lain). Sedangkan stereotip adalah memberikan penilaian terhadap sifat-sifat sebagai ciri-ciri khusus yang typical dan identical, yang ada pada seseorang atau golongan masyarakat tertentu. M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 16-18.
17Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Telaah Terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 119.
18Terdapat 300 ayat yang secara eksplisit menegaskan pentingnya toleransi dan perdamaian. Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), xxvi.
19Misrawi, Pandangan Muslim Moderat, 3-4.
20Baca Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, Teologi Kerukunan Umat Beragama (Bandung: Mizan Media Utama, 2011), 1-10.

Mewujudkan Kerukunan Beragama, Perlu Belajar “Pluralisme” (Perspektif Islam) Reviewed by Makhfud (Cak Pod) on 01.24 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by My Opinion About © 2014 - 2015
Designed by JOJOThemes

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.