Top Ad unit 728 × 90

Popular Posts

Urusan Ghaib, Anti-Intelektualisme, dan Masyarakat Santri


Menarik memang, ketika sesuatu yang ghaib dipertanyakan akuntabilitasnya. Bisa saja, saat Dimas Kanjeng mendapatkan pertanyaan pengikutnya terkait hasil penggandaan kekayaaan hartanya dapat dijawab dengan mudah, “Amalan sampeyan kurang istiqomah dan maharnya sedikit.” Mendengar hal tersebut, seorang pengikut akan semakin rajin beribadah (sesuai tuntunan Sang Kanjeng) dan berupaya menambah mahar. Tak hanya di probolinggo, di Pasuruan juga ada yang sampai berhutang hanya untuk memenuhi mahar.
Seruan datang dari Bupati Pasuruan, ia mengajak masyarakatnya yang menjadi pengikut Dimas Kanjeng untuk pulang, satu alasan menolak adalah untuk ibadah. (4/10/2016). Perihal macam ini memang lucu. Andai Dimas Kanjeng memberikan sarannya untuk meminum obat beracun. Bisa jadi pengikutnya mengiyakan. Padahal, hal semacam itu tidak ada urusan dengan yang ghaib. Perihal yang sulit dipertanyakan akuntabilitasnya.
Dimas Kanjeng bukannya hanya menjual “jajanan” penggandaan uang. Ia juga memanfaatkan amalan-amalan yang biasa dilakukan masyarakat. Seperti yasinan, membaca surat Al-Waqi’ah, pembacaan shalawat, dan lain-lain sebagainya. Bedanya, Dimas Kanjeng menambah bumbu bacaan-bacaan tertentu. Misalnya Shalawat Tuyul dan Shalawat Fulus.
Untuk memperkuat itu, disediakan beberapa alat ritual untuk menambah fadilah amal “penggandaan uang” agar semakin cepat. Seperti jimat bertulisankan arab, minyak, dan uang pemancing. Harganya yang irasional pun menjadi rasional, tak lain karena urusan ghaib tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Dimas Kanjeng dan Sulthonnya sangat masuk akal bukan? Yang pasti, itulah anti-intelektualisme dalam urusan ghaib.
Layaknya urusan Ghaib, ketika gagasan kaum intelektual tidak dapat memecahkan persoalan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatt, menguatlah wabah Anti-Intelektualisme. Pada definisi sederhana, anti-intelektualisme merupakan “pandangan, sikap, dan tindakan yang merendahkan ide-ide, pemikiran, kajian, telaah, riset, diskusi, hingga debat” (Zen R.S, Jawapos: 10/10/2016).
Sebelumnya, wabah anti-intelektualisme tersebut telah terjadi dalam dunia perpolitikan kita. Misalnya saat politisi bersumpah akan terjun dari Monumen Nasional saat seseorang menjadi seorang Gubernur. Sama ketika bersumpah akan memotong jari-jarinya ketika terbukti korupsi. Lucunya, saat ditagih janji tersebut, argumentasi intelektualnya muncul.
Lantas, apakah pembelaan Marwah Daud terhadap Dimas Kanjeng masuk kategori anti-intelektualisme?
Perhatikan perkataan Daud di bawah ini.
“Kalau perlu di depan Presiden, Menko Polhukam kemudian Kapolri, dan saya sebisanya bisa live (menggandakan uang), sehingga teman-teman media bisa lihat dan rakyat Indonesia bisa melihat.”
Andai tantangan itu dilakukan dan terbukti. Apakah kita akan membenarkan aktifitas Dimas Kanjeng? Apapun itu, Bank Indonesia bakal kelabakan perihal kepastian nomor seri uang tersebut.
Daud kemudian menambahkan sebuah pernyataan penguat. “Allah telah menurunkan ilmu untuk transfer energi dengan cara-Nya,” tegasnya.
Saya ingin kita open minded.
”Berdasar itu, sepertinya Daud menggunakan logika logis-supranatural. Sebuah dasar pembenaran dalam ilmu epistimologi filsafat untuk urusan ghaib dan tentunya tidak sembarang kasus. Biasanya, contoh yang sederhana dalam penggunaan logika logis-supranatural adalah terkait mukjizat Nabi Ibrahim AS yang tidak terbakar. Alurnya, Allah sebagai Tuhan Semesta Alam dapat dengan mudah untuk merubah sifat api yang panas menjadi sangat dingin. Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar. Dalam kasus Dimas Kanjeng, pantaskah logika tersebut digunakan? Atau tidak perlu jauh-jauh, adakah ulama atau pendeta dengan menunjukkan karomahnya untuk memperkaya diri, agar menjadi panutan, dan membuat umatnya malas bekerja?
Kembali kepada urusan ghaib, Pasuruan dengan kultur masyarakat santri menjadi garda terdepan dalam memahami dan meyakini hal-hal ghaib tersebut. Para santri, dalam memahami ajaran agama termasuk hal-hal ghaib bersumber dari ilmu para ulama pewaris Nabi. Bisa jadi, para ulama Nahdhatul Ulama (NU) ialah orangnya. Karena Nahdlatul Ulama (NU) memiliki sanad yang jelas terkait ajaran-ajaran agamanya.
Selain itu, berbekal pemahaman santri yang baik, tentu tidak mudah (bahkan tidak mungkin) untuk terpengaruh dengan upaya politisasi model Dimas Kanjeng tersebut. Mengapa? Karena Masyarakat Santri Pasuruan istiqomah mengaji (belajar). Seperti jargon alumni Pondok Pesantren Nailul Falah Suwayuwo Sukorejo yang mengatakan “Ngaji sampai mati. Ngaji eling mati.” (Mengaji sampai mati. Mengaji ingat mati).
Maka, apa yang dikatakan KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) bisa jadi adalah upaya pencegahan dan penangkalan kasus macam Dimas Kanjeng. “Orang akan tetap pandai selama dia terus belajar. Bila dia berhenti belajar karena merasa sudah pandai, mulailah dia bodoh”. Sederhananya, orang tidak akan mudah tertipu dan dibohongi, ketika seseorang terus belajar.
Urusan Ghaib, Anti-Intelektualisme, dan Masyarakat Santri Reviewed by Makhfud (Cak Pod) on 21.15 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by My Opinion About © 2014 - 2015
Designed by JOJOThemes

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.