Top Ad unit 728 × 90

Popular Posts

Dekonstruksi & Pribumisasi Valentine Day



Oleh: Makhfud Syawaludin

Semacam Pengantar
            Sebulan sebelum februari, gegap gempita malam tahun baru berhasil membius kebanyakan orang. Tidak mau ketinggalan, Februari akan ditabuh genderang oleh tradisi hari kasih sayang. Sebut saja, 14 februari/Valentine Day. Tradisi tersebut begitu membumi dan entah itu berupa perayaan positif maupun negatif. Mulai memberi ucapakan “I love You” dan cokelat oleh pasangan suami istri, antar kolega, pasangan pra-nikah, bahkan free sex. Itu artinya, beberapa orang bersujud syukur, beberapa yang lain bersyujud mungkur. Hehehehe.
Selain itu, ada pula yang ribut meribut soal pelarangan tradisi tersebut. Persoalannya, akan kah tradisi tersebut dapat dihapuskan dengan upaya pelarangan saja? tentu saja tidak. Tetapi, pelarangan akan meminimalisir dampak negatif valentine day. Bukankah pelarangan itu tidak melarang mendiskusikan soal valentine day? Menjadi perlu, penanganan negatif valentine dengan cara dialektika. Sekali lagi, tidak perlu berdebat soal ijtihad terhadap penanganan valentine day, toh tujuannya sama, yakni menyebarkan kebajikan.
Melihat fenomena perayaan valentine day, kemungkinan terdapat beberapa kesalahan pemahaman. Pertama, kurangnya kajian terhadap valentine day. Bukankah, mendiskusikan itu dapat sangat berdampak terhadap pembentukan pemahaman. Kita tidak perlu berharap 100 % peserta kajian dapat berubah, minimal beberapa peserta tercerahkan. Hehehehe. Kedua, pelabelan tabu terhadap pembahasan valentine day, sehingga para pemuda berijtihad sendiri tanpa ada kontrol. Ketiga, pelarangan masih bersifat radikal, tanpa mau melihat kebingungan (cara pandang) para pemuda pelaku tradisi valentine day. Hemat penulis, perlu berbagai upaya untuk tranformasi nilai negatif valentine day menuju nilai-nilai positif.
Akhirnya, ini memberikan pemahaman bahwa kita memiliki manhaj al-fikr dan cara tersendiri dalam merayakan sebuah momentum. Lagi-lagi, persoalan cara pandang yang menentukan arah kita melangkah. Yuk membenahi cara pandang kita, agak tidak “paham salah.” Hehehehe. Bagaimana caranya? Banyak-banyak membaca dan berdiskusi untuk menemukan nilai dalam sebuah sejarah, termasuk asal usul sebuah tradisi. Termasuk, sejarah valentine day.

Nilai Sejarah Perlawanan Valentine Day
            Cukup banyak sejarah tentang valentine day. Yang jelas, sejarah tersebut sangat berbeda dengan apa yang secara ekstrim dipraktikkan dalam perayaan valentine day sekarang. Mengapa demikian? Sebeb kita tidak pernah atau kurang belajar soal sejarah dan belum menemukan nilai-nilai positif dari sejarah tersebut. Dalam hal ini, penulis memilih sejarah kemunculan perayaan valentine day pada masa Kaisar Romawi Claudius II (270 SM).
            Kaisar Roma ini dikenal kejam, Ia memberlakukan peraturan yang melarang orang-orang untuk menikah. Pemberlakuan peraturan ini bermula pada saat Kaisar berambisi untuk membentuk tentara dalam jumlah yang besar. Dia juga berasumsi bahwa bala tentaranya akan menjadi semakin besar dan kuat, jika tentaranya tidak menikah, Dia berharap kaum lelaki untuk secara suka rela bergabung menjadi tentara.
Namun banyak yang tidak mau untuk terjun ke medan perang. Mereka tidak mau meninggalkan keluarganya. Peristiwa ini membuat kaisar naik pitam. Akhirnya, dia kemudian menggagas ide “gila”, bahwa laki-laki yang tidak kawin, akan tidak segan-segan akan bergabung menjadi tentara. Sehingga kaisar memutuskan untuk tidak mengijinkan laki-laki kawin.
Kalangan remaja menganggap bahwa ini adalah hukum biadab. Uskup Valentine juga tidak mendukung kebijakan tersebut. Sebagai seorang pendeta yang bertugas menikahkan lelaki dan perempuan. Valentine tetap melakukan tugasnya ini dengan cara rahasia. Diam-diam uskup Valentine mengumpukan muda-mudi yang saling jatuh cinta untuk dinikahkan.
Tidak lama kemudian, Kaisar mengetahui dan marah besar. Akibatnya, uskup Valentine ditangkap dan dipenjarakan. Ia harus menyembah dewa orang Romawi jika tidak ingin dihukum. Valentine dengan keras menampik tawaran itu. Akhirnya, tepat 14 Februari 270 SM, Valentine dipukuli, dilempari batu, dan dipenggal. Hukuman ini terjadi bertepatan saat mempersiapkan festival Lupercalia rakyat Romawi. Untuk mengenang jasa dan pengorbanan Santo Valentine dan menghormati tradisi rakyat romawi, para pastor Romawi menentukan tanggal 14 Februari sebagai Hari Santo Valentine. (baca: Membahasakan valentine day dalam organisasi; www.pmiingalah.wordpress.com).
            Setelah membaca kilas sejarah tersebut, ada beberapa nilai yang dapat kita ambil,  antara lain: a). Melawan kebijakan yang mengkebiri Hak Asasi Manusia untuk menikah, b). Keteguhan akan keyakinan dan kebenaran, c). Melegalkan kasih sayang dalam pernikahan, dan d). keberanian memperjuangkan penghapusan penindasan. Sederhananya, sebenarnya valentine day merupakan perlawanan terhadap penindasan. Apabila ditarik masa sekarang, seharusnya valentine day harus melawan free sex dan kejahatan seksual dengan menikah dan hidup bersama menuju sakinah, mawaddah, warahmah pasca pernikahan.

Semacam Usulan
           Pernah penulis berpikir, andai kita tidak sibuk mentabukan dan melarang secara radikal valentine day, mungkin kita akan bisa membumikan valentine day lebih bermoral. Selain itu, kita bisa saja mengganti cokelat dengan jajanan lokal kita. Misalnya, Jenang, wajik, klepon, gethuk lindri, gatot, putu, amparan tatak, pisang epe, dan lain-lain. Hehehehe. Tinggal bagaimana kita mengemas jajanan tersebut. Inilah yang penulis sebut sebagai Pribumisasi valentine day. Bagaimana sahabat? Dengan kondisi sekarang ini, mari bersama-sama mengupayakan valentine day lebih ramah, anggun, dan bermoral. Bukankah kasih sayang meski diwujudkan lebih santun dan bermoral? Tugas kita bersama melakukan itu.
Dekonstruksi & Pribumisasi Valentine Day Reviewed by Makhfud (Cak Pod) on 21.43 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by My Opinion About © 2014 - 2015
Designed by JOJOThemes

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.