Dekonstruksi & Pribumisasi Valentine Day
Oleh: Makhfud Syawaludin
Semacam
Pengantar
Sebulan sebelum februari, gegap
gempita malam tahun baru berhasil membius kebanyakan orang. Tidak mau
ketinggalan, Februari akan ditabuh genderang oleh tradisi hari kasih sayang.
Sebut saja, 14 februari/Valentine Day. Tradisi tersebut begitu membumi
dan entah itu berupa perayaan positif maupun negatif. Mulai memberi ucapakan “I
love You” dan cokelat oleh pasangan suami istri, antar kolega, pasangan
pra-nikah, bahkan free sex. Itu artinya, beberapa orang bersujud syukur,
beberapa yang lain bersyujud mungkur. Hehehehe.
Selain itu, ada pula yang ribut meribut soal pelarangan
tradisi tersebut. Persoalannya, akan kah tradisi tersebut dapat dihapuskan
dengan upaya pelarangan saja? tentu saja tidak. Tetapi, pelarangan akan
meminimalisir dampak negatif valentine day. Bukankah pelarangan itu
tidak melarang mendiskusikan soal valentine day? Menjadi perlu,
penanganan negatif valentine dengan cara dialektika. Sekali lagi, tidak
perlu berdebat soal ijtihad terhadap penanganan valentine day, toh tujuannya
sama, yakni menyebarkan kebajikan.
Melihat fenomena perayaan valentine day, kemungkinan
terdapat beberapa kesalahan pemahaman. Pertama, kurangnya kajian
terhadap valentine day. Bukankah, mendiskusikan itu dapat sangat
berdampak terhadap pembentukan pemahaman. Kita tidak perlu berharap 100 %
peserta kajian dapat berubah, minimal beberapa peserta tercerahkan. Hehehehe. Kedua,
pelabelan tabu terhadap pembahasan valentine day, sehingga para pemuda
berijtihad sendiri tanpa ada kontrol. Ketiga, pelarangan masih bersifat
radikal, tanpa mau melihat kebingungan (cara pandang) para pemuda pelaku
tradisi valentine day. Hemat penulis, perlu berbagai upaya untuk
tranformasi nilai negatif valentine day menuju nilai-nilai positif.
Akhirnya, ini memberikan pemahaman bahwa kita memiliki manhaj
al-fikr dan cara tersendiri dalam merayakan sebuah momentum. Lagi-lagi,
persoalan cara pandang yang menentukan arah kita melangkah. Yuk
membenahi cara pandang kita, agak tidak “paham salah.” Hehehehe. Bagaimana
caranya? Banyak-banyak membaca dan berdiskusi untuk menemukan nilai dalam
sebuah sejarah, termasuk asal usul sebuah tradisi. Termasuk, sejarah valentine
day.
Nilai Sejarah Perlawanan Valentine Day
Cukup banyak sejarah tentang valentine
day. Yang jelas, sejarah tersebut sangat berbeda dengan apa yang secara
ekstrim dipraktikkan dalam perayaan valentine day sekarang. Mengapa
demikian? Sebeb kita tidak pernah atau kurang belajar soal sejarah dan belum
menemukan nilai-nilai positif dari sejarah tersebut. Dalam hal ini, penulis
memilih sejarah kemunculan perayaan valentine day pada masa Kaisar
Romawi Claudius II (270 SM).
Kaisar Roma ini dikenal kejam, Ia
memberlakukan peraturan yang melarang orang-orang untuk menikah. Pemberlakuan
peraturan ini bermula pada saat Kaisar berambisi untuk membentuk tentara dalam
jumlah yang besar. Dia juga berasumsi bahwa bala tentaranya akan menjadi
semakin besar dan kuat, jika tentaranya tidak menikah, Dia berharap kaum lelaki
untuk secara suka rela bergabung menjadi tentara.
Namun banyak yang tidak mau untuk terjun ke medan perang.
Mereka tidak mau meninggalkan keluarganya. Peristiwa ini membuat kaisar naik
pitam. Akhirnya, dia kemudian menggagas ide “gila”, bahwa laki-laki yang tidak
kawin, akan tidak segan-segan akan bergabung menjadi tentara. Sehingga kaisar
memutuskan untuk tidak mengijinkan laki-laki kawin.
Kalangan remaja menganggap bahwa ini adalah hukum biadab.
Uskup Valentine juga tidak mendukung kebijakan tersebut. Sebagai seorang
pendeta yang bertugas menikahkan lelaki dan perempuan. Valentine tetap
melakukan tugasnya ini dengan cara rahasia. Diam-diam uskup Valentine
mengumpukan muda-mudi yang saling jatuh cinta untuk dinikahkan.
Tidak lama kemudian, Kaisar mengetahui dan marah besar.
Akibatnya, uskup Valentine ditangkap dan dipenjarakan. Ia harus menyembah dewa
orang Romawi jika tidak ingin dihukum. Valentine dengan keras menampik tawaran
itu. Akhirnya, tepat 14 Februari 270 SM, Valentine dipukuli, dilempari batu,
dan dipenggal. Hukuman ini terjadi bertepatan saat mempersiapkan festival
Lupercalia rakyat Romawi. Untuk mengenang jasa dan pengorbanan Santo Valentine dan
menghormati tradisi rakyat romawi, para pastor Romawi menentukan tanggal 14
Februari sebagai Hari Santo Valentine. (baca: Membahasakan valentine day dalam
organisasi; www.pmiingalah.wordpress.com).
Setelah membaca kilas sejarah
tersebut, ada beberapa nilai yang dapat kita ambil, antara lain: a). Melawan kebijakan yang mengkebiri
Hak Asasi Manusia untuk menikah, b). Keteguhan akan keyakinan dan kebenaran, c).
Melegalkan kasih sayang dalam pernikahan, dan d). keberanian memperjuangkan
penghapusan penindasan. Sederhananya, sebenarnya valentine day merupakan
perlawanan terhadap penindasan. Apabila ditarik masa sekarang, seharusnya valentine
day harus melawan free sex dan kejahatan seksual dengan menikah dan
hidup bersama menuju sakinah, mawaddah, warahmah pasca pernikahan.
Semacam
Usulan
Pernah penulis berpikir, andai kita tidak sibuk mentabukan
dan melarang secara radikal valentine day, mungkin kita akan bisa
membumikan valentine day lebih bermoral. Selain itu, kita bisa saja
mengganti cokelat dengan jajanan lokal kita. Misalnya, Jenang,
wajik, klepon, gethuk lindri, gatot, putu, amparan tatak, pisang epe, dan
lain-lain. Hehehehe. Tinggal bagaimana kita mengemas jajanan tersebut. Inilah
yang penulis sebut sebagai Pribumisasi valentine day. Bagaimana sahabat?
Dengan kondisi sekarang ini, mari bersama-sama mengupayakan valentine day lebih
ramah, anggun, dan bermoral. Bukankah kasih sayang meski diwujudkan lebih
santun dan bermoral? Tugas kita bersama melakukan itu.
Dekonstruksi & Pribumisasi Valentine Day
Reviewed by Makhfud (Cak Pod)
on
21.43
Rating:
Tidak ada komentar: